DI BAWAH LANGIT
Karya Opick “Tombo Ati” I Taufiqurrahman al-Azizy
Kyai
Ahmad adalah seorang kyai yang sangat di segani dan di hormati di daerah Dukuh
Gelagah. Di rumahnya yang sangat sederhana ia tingal dengan sepuluh anak. Dari
kesepuluh anak tersebut hanya satu anak yang merupakan buah cintanya bersama
almarhum istrinya yang telah di jemput
sang khalik terlebih dahulu dalam sujudnya. Maysaroh, itulah nama anak
kandungnya tersebut.
Dua
tahun lebih tua dari maysaroh, di rumah tersebut tinggal juga seorang anak
laki-laki yang bernama Jaelani. Jaelani
bukan anak maupun keponakan Kyai Ahmad, ia hanyalah anak malang yang di tinggalkan ayahnya di tepi
pantai. Karena keluhuran budinya Kyai ahmad mengangkat Jaelani menjadi anaknya.
Ia menyayangi Jaelani seperti anaknya sendiri. Bersama Jaelani ia mengasuh dan
mengajarkan Maesaroh dengan ajaran islam.
Suatu
hari penduduk menemukan seorang anak laki-laki terombang-ambing pada sebuah
kapal. Karena kehidupan penduduk yang pas-pasan, penduduk menyerahan anak
tersebut kepada Kyai Akhmad. Kyai Akhmad menerima anak tersebut bukan karena ia
kaya, tetapi karena rasa kemanusiaan dan tanggung jawab sesama muslim. Anak
tersebut bernama Gelung.
Gelung
dibawa pulang oleh Kyai Akhmad. Gelung menambah keramaian di rumah tersebut.
Ketujuh anak lainnya yang ada di rumah tersebut juga merupakan anak-anak yang
bernasib malang sama seperti Jaelani dan
Gelung. Tapi Kyai Ahmad tidak membeda-bedakan anak-anak tersebut.
Waktu terus berputar,
dan mereka semakin tumbuh menjadi dewasa. Dalam keseharian yang mereka jalani
ternyata menumbuhkan benih-benih cinta diantara Maisaroh dan Gelung. Mereka
sama-sama mencintai tetapi tidak berani mengungkapkannya. Rasa cinta di antara
mereka terlihat dengan jelas oleh Jaelani, tetapi ia tidak begitu
menghiraukannya.
Maisaroh tumbuh menjadi
remaj yang jelita dan di kelilingi oleh dua pemuda tampan. Kyai Ahmad menjadi
resah karenanya, resah karena takut akan menimbulkan fitnah. Akhirnya Kyai
Ahmad memutuskan untuk menikahkan Maisaroh dengan Jaelani. Kabar itu sungguh
mengagetkan mereka bertiga, tetapi tidak ada yang berani menentangnya.
Pernikahan itupun terlaksana. Gelung tidak sanggup menerima pernikahan tersebut
sehingga ia memilih meninggalkan rumah dan
tinggal di gubuk kecil di depan rumah
Kyai ahmad.
Tidak lama setelah pernikahan itu Kyai Ahmad meninggal
dunia dalam sujudnya. Sebelum meninggal ia menyempatkan diri ke gubuk Gelung
untuk meminta maaf jika keputsannya menyakiti gelung. Kematian Kyai Ahmad tidak
ada yang menduga sehingga menimbulkan duka yang mendalam bagi anak-anaknya.
Sepeninggal Kyai Ahmad
kehidupaan penduduk menjadi tak karuan. Tak ada tempat untuk bertanya, mengadu
maupun sekedar berbagi. Ikan di lautpun seolah merasa sedih sehingga setiap
nelayan melaut tidak pernah mendapatkan hasil. Hal ini membuat penduduk jadi
enggan melaut.
Suatu hari Gelung ke
warung meminta ke kepada pemilik warung. Karena Gelung dinggap gila pemilik
warung memberinya secara cuma-cuma. Ketika di warung gelung bertemu dengan dua
orang nelayan yang tidak ingin melaut karena tidak membuahkan hasil, tetapi
Gelung malah memarahi kedua nelayan tersebut dan menyuruhnya melaut. Ia berkata
bahwa ikan telah menanti mereka saat ini. Dengan ketidak percayaan akan
kata-kata Galung tersebut mereka pergi melaut tetapi hasilnya luar biasa sangat
banyak.
Sepulang dari melaut
mereka membagi-bagikan ikan tersebut kepada penduduk dan menceritakan bahwa mereka mendapatkan ikan karena Gelung.
Kabar tersebut meluas sehingga Gelung dinggap orang sakti. Karena kabar
tersebut akhirnya gelung sering di datangi penduduk untuk mendapatkan petunjuk
agar mendapatkan ikan yang banyak. Mereka bukannya mendapatkan petunjuk tetapi
mendapat makian dari Gelung karena menurutya semua rezeki iu di peroleh karena
kemurahan hati Allah SWT.
Kehidupan penduduk
mulai sepertinya tidak ada perubahan bahkan semakin buruk karena bertambahnya
dengan krisis moral penduduk yang dianggap Jaelani syirik. Suatu keika ketujuh
anak-anak yang ditinggalkan Kyai Ahmad yang kini tinggal bersama Jaelani dan
Maesaroh berjalan-jalan kepasar. Di pasar seorang ibu kena copet, pencopetnya dikejar
beramai oleh pengunjung pasar. Pencopet tersebut berlari di depan anak-anak
tersebut dan tanpa di sadarinya dompet hasil copetannya terjatuh dan diambil
oleh ketujuh anak tersebut. Tanpa berpikir panjang anak tersebut mengambilnya
dan membawanya pulang.
Sesampainya di rumah
ketujuh anak tersebut membicarakan mengenai uang yang mereka dapat tadi. Mereka
sepakat bahwa uang tersebut diberikan kepada penduduk yang kurang mampu. Setelah
memberikan uang tersebut meresa merasa senang karena telah membantu orang lain.
Akan tetapi kebaikan yang mereka lakukan menjadi ingin selalu mereka lakukan
sehingga mereka akhirnya sering mencuri ataupun mencopet untuk membantu
penduduk yang mengalami kesusahan. Mereka mencuri ataupun mencopet dari
orang-orang yang mereka anggap tidak baik seperti orang yang suka berjudi
ataupun rentenir.
Suatu hari mereka
mencuri uang milik rentenir, terang saja rentenir tersebut langsung melaporkan
kejadian tersebut ke polisi, dengan pengintaian yang cukup lama akhirnya
ketujuh anak tersebut ditangkap polisi. Jaelani dan Maesaroh mendapat pukulan
yang cukup berat. Mereka dianggap tidak mampu mendidik anak-anak sperti Kyai
Ahmad dahulu. Padaahal mereka tidak tahu apa yang di lakukan anak-anak tersebut
di luar.
Kabar tersebut sampai
kepada Galung. Galung langsung ke kantor polisi menyerahkan diri. Ia mengaku
bahwa anak-anak mencuri karena diajarkan olehnya. Hal ini dilakukannya hanya
semata-mata agar anak-anak tidak di
penjara. Ia rela di penjara asalkan anak-anak dapat bebas sebagai bukti
cintanya kepada anak-anak.
Kabar ketujuh anak yang
mencuri tersebut terdengar sampai ke dinas social kecamatan setempat. Dinas social memutuskan bahwa
ketujuh anak tersebut harus di bawa ke
panti asuhan di kecamatan karena akan
lebih terjamin kehidupnya. Terang saja ini membuat semakin terpuruknya perasaan
Jaelani dan Maesaroh. Sehingga Jaelani jatuh sakit.
Anak-anak tersebut di
bawa ke kecamatan dan meninggalkan Jaelani dan Maisaroh dengan berderai air
mata. Setelah seminggu berada dip anti asuhan anak-anak tersebut merasa tidak
nyaman. Akhirnya mereka memutuskamn untuk ke kota. Mereka kabur dari panti
asuhan dan menumpang dengan kendaraan yang lewat ke kota. Di kota mereka hidup
layaknya anak jalanan yang lain. Nyemir sepatu, ngamen mereka lakukan agar
dapat bertahan di kota.
Gelung akhirnya bebas dari tahanan. Ketika bebas ia langsung
pulang ke Dukuh. Tujuannya hanya satu yaitu bertemu anak-anak. Sesampainya ia
di halaman rumah Jaelani ia melihat warga sedang berunjuk rasa mengusir Jaelani
dan Maisaroh. Melihat kejadian itu Gelung membela Maisaroh yang saat itu
sendirian karena Jaelani di dalam rumah terbaring lemah karena sakit. Beberapa
ibu-ibu daari warga juga membela Maisaroh dan menyampaikan bahwa mereka pernah
menerima uang dari ketujuh anak-anak tersebut.dan uang yang mereka
dapatkan dari anak-anak tersbut karena
mereka memang sangat membutuhkannya. Mendapat penjelasan tersebut wargapun
dibubarkan oleh Gelung. Setelah warga bubar Gelung menanyakan anak-anak.
Maysaroh mengatakan bahwa anak-anak di
bawa pihak dinas sosial ke panti asuhan di kecamatan. Tanpa berkata apapun
Gelung pergi meninggalkan Maisaroh
Gelung langsung ke
Panti Asuhan yang di maksud. Sesampainya di sana ia di kabarkan bahwa anak-anak
tersebut melarikan diri. Tanpa berfikir panjang ia langsung ke kota mencari
anak-anak tersebut. Ternyata dugaannya tidak meleset. Ia memenukan ketujuh anak
tersebut di terminal. Iapun langsung membawa ketujuh anak-anak tersebut pulang
ke Dukuh. Sesampainya di Dukuh mereka bermain di pantai mengingat semua
kenangan yang pernah ada. Setelah puas bermain mereka pulang ke rumah Jaelani.
Ketika sampai di halaman mereka kaget karena banyak warga yang mendatangi rumah
mereka, serta ada bendera putih. Mereka langsung berhamburan ke rumah dan
mencari maisaroh. Dan benar saja Jaelani telah meninggal.
Setelah Jaelani
meninggal Maisaroh tinggal bersama ketujuh anak tersebut. Dalam kesedihannya ia
mencoba bersikap tegar di depan ketujuh anak tersebut. Tetapi anak-anak
tersebut memahami kesedihan hati Maesaroh. Ketujuh anak itu menginginkan agar
Gelung menjadi pelindung mereka sepeninggal Jaelani, sehingga mereka berusaha
menyatukan cinta antara gelung dan Maesaroh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar